Senin, 07 April 2014

Revolusi Agustus ‘45

Revolusi Agustus ‘45

Kudeta April 2014 Menteng
Sesi BIR..BIncang Ringan

Salam dan bahagia sabtu malam minggu di depan umah kaca, taman menteng yeah kudeta berkumpul dengan teman di awal bulan yang begitu terasa tak menentu cuaca yang anomaly serta para kontentan pemilu 2014 yang semakin mendekati masa pemungutan suara. Minggu tenang mengarahkan masa pada akhir kampanye yang tak terlalu menjadi antusias rakyat kebanyakan karena semuanya itu hanya menjadi sebuah ironi dimana yang katanya berdaulat di bidang politik, berkepribadian dalam budaya serta berdikari dalam bidang ekonomi tapi hanya jargon dan propaganda yang bermodal uang yang bisa menjadi wakil rakyat sementara rakyat hanya sebagai penonton. Revolusi agustus ’45 belum di jalankan yang ajadi pesimisme didalam masyarakat tak percaya lagi dengan elit poltik dan partai yang menjadi wakil sebuah oligarki kepentingan yang ingin berkuasa dan mepertahankan kekuasaan demi mengisap kekayaan alam untuk para kapitalisme dan imperialism yang berbaju baru yaitu neoliberalisme. Rakyat hanya di sanjung-sanjung ketika di butuhkan saat pemilu saja, kalau ada partai yang semacam ini Cuma hanya mengazaskan manfaat kalau sudah terpenuhi keinginanya rakyat malah di ditindas dengan kenaikan keutuhan hidup yang semakin mencekik yang katanya mereka wakil rakyat atau mengusung partai atas nama rakyat tapi rakyat yang mana? Rakyat segelintir golongan yang berkuasa saja serta anteknya kebagian ciparatan saja

Setelah 68 tahun, dimana pada tahun 1945. Ketika kemerdekaan negeri ini diproklamirkan, cita-cita yang terukir di benak setiap orang Indonesia kala itu adalah: masyarakat adil dan makmur.Suara rakyat bukan suara golongan berkuasa mengatasnamakan rakyat tapi mengekploitasi rakyat. Revolusi agustus ’45 dengan semangat membangun bangsa dan Negara lewat sebuah pertarungan kekuasaan secara damai yaitu dengan pemilu. Tapi sampai sekarang mana mereka yang mengatas namakan sebuah intustusi Negara dengan ideology Pancasila tapi tak ada satu pun sila yang di jalankan secara konsekwen Cuma jadi hiasa kata-kata pemanis belaka dan UUD’45 Cuma hanya jadi tameng mereka untuk menipu rakyat, akan tetapi mereka tak pernah menjalankan, hanya menjalankan apa kata pemodal (kapitalisme).

Rakyat pemsimis dengan pemilu yang akan melahirka penindasan baru atau sebuah optimisme adanya pemerintahan dan wakil rakyat yang lebih baik seperti judi tapi judi yang menang pasti Bandar yang punya modal dengan tipu muslihat menghipnotis rakyat yang dengan citra merakyat tapi nyatanya tak pernah menjalankan amanat rakyat dalam pasal 33 UUD’45 bahwa sesunguhnya yang menyangkut hak hidup adalah eberada di dalam control rakyat tapi nyatanya mereka menjualnya kepada pemilik modal asing. Beginilah demokrasi liberal.

Demokrasi Liberal Tidak Menjawab Persoalan Rakyat, Dalam sejarah Indonesia pernah menerapkan sistim demokrasi liberal, yakni dari tahun 1950 hingga tahun 1959. Saat itu Indonesia tergelincir dalam ketidakstabilan politik dan pertikaian antar golongan. Bung Karno juga mengeritik dari sebuah esensi demokrasi liberal itu, yang hanya memberikan kebebasan atau persamaan/kesetaraan di biadang politik saja, tetapi tidak ada persamaan di dalam bidang ekonomi. sekalipun setiap warga negara dianggap punya hak yang sama di lapangan politik, tetapi pada kenyataannya hampir semua lembaga politik dikontrol kaum pemilik modal.

“Siapa yang menang, ya, mereka yang pasti punya modal besar. Mereka yang menguasai semua alat propanda, seperti lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, media massa, universitas, dan lain-lain. Mereka bisa membeli suara rakyat yang dimiskinan oleh system yang busuk (baca;kapitalisme). Mereka juga bisa membeli loyalitas lembaga pelaksana pemilhan umum.

“Bung Karno tidak setuju dengan konsep demokrasi liberal itu. Menurutnya, demokrasi liberal hanya melahirkan lingkungan politik yang tidak stabil dan memicu perpecahan bangsa. Dan itu tidak relevan dengan konteks perjuangan melikuidasi kolonialisme dan imperialisme,” orde baru Soeharto boleh tumbang tapi orde barunya tetap terbaharukan dengan system yang terus berevolusi dengan para pemimpin yang menjadi agen neoliberalisme mencengkram dengan tak sadar bahwa sepenuhnya kita dijajah dengan kebijakan yang membuat rakyat tak punya kekuatan lagi dan dimiskinkan baik ekonomi maupun kesadaran politik.
Tanpa sebuah program yang jelas berdasarkan kepetingan rakyat sosialime bukanya seperti sekarang yang dijalankan adalah demokrasi liberal sebagai “pemerintahan dari pasar, oleh pasar, dan untuk pasar. Itu sudah sangat  jelas sekali. Lihat saja, sesengit apapun perdebatan di parlemen, mereka tak boleh mengganggu kebebasan pasar. hampir semua kebijakan dari parlemen juga adalah UU pro pasar liberal. demokrasi liberal kepada pasar, kepentingan mayoritas rakyat ditindas. Ia mencontohkan, demi kenyamanan investasi, pemerintahan liberal melaksanakan praktek politik upah murah, perampampasan tanah milik kaum tani, dan penghancuran layanan publik.

Dalam demokrasi liberal, yang kuat bebas menindas yang lemah. Yang kaya makin kaya, sedangkan mayoritas rakyat terjerumus dalam kemiskinan. Maklum, kue ekonomi hanya dinikmati segelintir kelompok orang, Lebih jauh lagi, karena yang kuat akan berkuasa, ia bisa menggunakan hukum untuk menindas yang lemah dan termiskinkan. Dalam berbagai ajang pemilu, baik Pemilu nasional maupun Pilkada, selalu saja kelompok pengusaha dan mereka yang punya uang yang bisa maju sebagai kandidat. Akibatnya, kehidupan politik Indonesia makin didominasi oleh kalangan elit politik tradisional dan pengusaha. sistem politik seperti di atas sangat tidak sehat karena berbiaya tinggi, sarat dengan politik uang, dan cenderung pro-pasar/pemodal. “Dulu, ketika orang terjun ke politik, modal utamanya adalah gagasan dan program-program perjuangan. Sekarang orang terjun ke politik, syarat utamanya harus punya modal yaitu uang, popularitas, dan punya koneksi dengan kekuasaan. Lalu apa lagi yang di harapkan pemilu dengan GOLPUT atau memilih yang terbaik di antara yang terburu karena tak punya program yang kerakyatan bukan hanya slogan dan janjinya saja, adapun perubahan bisa di laksanakan dengan perjuangan dimana ratu adil (rakyat turun angkat bedil) menghendaki ketika rakyat tersadarkan sudah muak dan terorganisir. Dengan kesadaran bahwa selama ini UUD’45 dan pancasila telah di selewengkan demi kekuasan selelintir orang demi kepentingan kelompoknya. Disaat itulah rakyat yang menjadi hakim bukanya sebuah oligarki kekuasaan yang pro terhadap neo-lib.

Uu ruangmenataplangit




Tidak ada komentar:

Posting Komentar