Selasa, 23 Agustus 2011

metropole oh ...megaria

megaria 1955 foto: internet
Gedung bioskop , megaria ini mulai dibangun pada 11 Agustus 1949 dan rampung sekaligus mulai dioperasikan sebagai bioskop yang diberi nama Metropole pada tahun 1951.
Bangunan cukup monumental berarsitektur paduan gaya Art-Deco Tropis dan De Stijl dengan menara lancipnya yang khas ini berada di lokasi yang sangat strategis di sudut persimpangan dua jalan yang cukup ramai, yakni antara Jalan Cikini, Jalan Proklamasi (Pegangsaan Timur), dan Jalan Diponegoro yang kala itu bernama Oranje Boulevard.
Berdasarkan catatan sejarah, bioskop Megaria, yang kini bernama Megaria XXI merupakan hasil rancangan Johannes Martinus (Han) Groenewegen, arsitek Belanda kelahiran Den Haag (1888) yang tinggal di Jakarta sampai dengan akhir hayatnya (1980). Gedung mulai dibangun pada 11 Agustus 1949 dan rampung sekaligus mulai dioperasikan sebagai bioskop pada tahun 1951. Bangunan cukup monumental berarsitektur paduan gaya Art-Deco Tropis dan De Stijl dengan menara lancipnya yang khas ini berada di lokasi yang sangat strategis di sudut persimpangan dua jalan yang cukup ramai, yakni antara Jalan Cikini, Jalan Proklamasi (Pegangsaan Timur), dan Jalan Diponegoro yang kala itu bernama Oranje Boulevard

Saat-saat Metropole mulai beroperasi 57 tahun lalu, bioskop ini memutar film produksi MGM (Metro Goldwyn Mayer), AS. Meskipun demikian, sekali-kali memutar film Indonesia.
Pada 1960-an diganti jadi Megaria karena, konon, Bung Karno (Presiden pertama Indonesia) ketika itu tak suka pada nama berbau Belanda itu. 

Setelah bergabung dengan kelompok bioskop 21 pada tahun 1990-an, namanya diganti lagi menjadi Metropole 21. Akhirnya, sejak beberapa tahun silam, balik lagi memakai nama Megaria 21 dan kini menjadi XXI hingga hari ini.
Pada dekade 1960 dan 1970-an, bioskop dengan kapasitas 1.000 penonton itu sempat menjadi salah satu yang terbaik dan bergengsi di Jakarta. Namun, setelah ruang bioskop dipecah-pecah menjadi empat teater kecil ala sinepleks kelompok bioskop 21, pamor Megaria malah merosot dan cuma jadi tujuan penonton film kelas dua.
Tidak ada perubahan mencolok ketika gedung bioskop ini masih bernama Metropole. Hanya loket penjualan tiket yang dulu terletak di bagian luar kini menjadi tempat pijat refleksi. Tempat penjualan tiket kini terletak di bagian dalam, melayani enam bioskop dari kelompok 21. Di samping kanan bioskop, yang dulu berupa toko-toko tekstil, kini diisi barber shop, pedagang empek-empek dan rumah makan ayam kambali. Di sini juga terdapat kantor sekuriti Metropole, induk dari bioskop Megaria XXI.

Bagian belakang gedung bioskop, dekat tempat parkir kendaraan bermotor yang kini menjadi Megaria studio 5- 6, dulunya adalah perumahan militer. Di sebelahnya terdapat Hero Supermarket hero kini berganti menjadi supermaket Giant.

Menurut keterangan, pemilik gedung bioskop Megaria, pada tahun 1970-an dan 1980-an, juga membangun Bioskokp Nedw Garden Hall yang kini berubah menjadi pertokoan Blok M Plaza

ulianov
dari berbagai sumber

Van de Velde dan Pembangunan Stadhuis yang Molor


Beginilah rupa stadhuis Batavia di tahun 1712, saat pembangunan benar-benar selesai. Gambar itu dibikin oleh F Valentijn dalam Oud en nieuw Oost Indien IV. Lukisan itu kemudian mengisi ilustrasi dalam buku Adolf Heuken serta Hans Bonke dan Anne Handojo dalam Dari Stadhuis Sampai Museum.
Rabu, 9 Juni 2010 | 01:43 WIB

KOMPAS.com -- Willem Jorisz van de Velde, sang arsitek, dan Jan Fredrick Kemmer, kontraktor, pembangun balai kota yang hingga kini masih berdiri megah dibantu Frank van Balen yang membangun kembali penjara di dalam balai kota. Mereka menyiapkan gedung lain sebagai balai kota sementara selama balai kota kedua dibangun kembali.

Awal 1706, kembali VOC membeli rumah di sebelah timur Jalan Tijgersgracht (Jalan Pos Kota kini) sebagai balai kota sementara. Sayanngnya tidak ada data gedung apa yang pernah jadi balai kota sementara itu. Semua rencana ini dimulai saat Gubernur Jenderal Joan van Hoorn berkuasa (1704-1709).
           
Perlu setahun persiapan sebelum akhirnya van de Velde menyatakan siap bekerja. Tender dimenangkan pemborong Jan Kemmer dengan 29.800 rijksdaalders (mata uang Belanda di akhir abad 16 sebelum menggunakan guilder  di abad 18-Red). Pemerintah menetapkan, tidak mengizinkan penggunaan kembali kayu bekas, kecuali balok-balok yang masih dalam kondisi baik. Pemborong juga diberi izin menggunakan alat kerja yang ada di perkampungan tukang/perajin tanpa biasa khusus.
           
Pekerjaan awal Kemmer segera dilakukan yaitu merobohkan sebagian dari gedung. Kayu di lantai hingga balok atap dibongkar. Tembok di lantai bawah ada yang dipertahankan, tembok di lantai atas semua dibongkar sedangkan tembok penghubung penjara sipil di bagian bawah di mana pondasi turun juga ikut dibongkar. Van de Velde menyatakan siap memulai pembangunan pada Januari 1707 dan dalam waktu 18 hingga 24 bulan ke depan, ia harus sudah menyelesaikan pekerjaan.
           
Tepat pada 25 Januari 1707 pagi hari, gadis berusia 13 tahun yang adalah putri tunggal gubernur jenderal memasang batu pertama. Ia adalah Petronella Wilhelmina. Batu pertama itu dipasang di tembok muka di sisi kiri pintu penjara sipil. Kini batu itu bisa dilihat di tembok depan gedung Museum Sejarah Jakarta (MSJ). Di batu itu tercetak tanggal dan tahun 25 Januari 1707.
           
Rupanya, pembangunan kembali stadhuis itu tak berjalan mulus. Selain faktor cuaca, di mana hujan terus mengguyur, ternyata tembok yang semula dipertahankan pun tak sekokoh perkiraan awal. Tembok itu roboh. Kemmer pun minta tambahan dana sebesar 2.600 rijksdaalders pada Mei yang kemudian disetujui sebesar 2.000 rijksdaalders pada Agustus.   
           
Dalam buku Dari Stadhuis Sampai Museum disebutkan, seluruh lantai dasar gedung harus dinaikkan setinggi lebih dari 1,10 m. Di bagian muka disiapkan pondasi untuk gapura. Sebanyak 30 balok besar disiapkan untuk itu. Sementara di bagian atas dipasang enam tiang batu bergaya Doris yang menahan bagian muka. Akhir Desember 1708 seluruh gedung hingga atap, kecuali menara kecil, telah siap.
           
Di bagian muka atas dipasang balok bersilang dengan kaca di bagian atas dan teralis besi di bagian bawah. Kaca-kaca jendela dibikin dengan bahan kaca dari Perancis sementara kayu jati, batu bata, genteng diambil dari Jawa. Batu alam diimpor dari Koromande, India, dan besi-besi yang didatangkan dari Jepan dan Eropa. Kayu di gedung itu dicat hijau muda atau abu-abu.
           
Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta menuliskan, Di tengah-tengah atap bangunan stadhuis terdapat menara kecil persegi delapan dengan kubah. Menara menjulang tinggi di atas atap. Menara kecil itu diberi lantern, yaitu
menara yang lebih kecil lagi di puncak kubah.
           
Akhir Desember 1709 Kemmer menyatakan pekerjaannya kelar. Setelah inspeksi keseluruhan dan persiapan mengisi ruangan, maka pada Juni 1710 balai kota yang baru mulai ditempati. Tepat pada 10 Juli 1710 gedung baru itu diresmikan Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck. Meski demikian, sebenarnya, pembangunan balai kota baru itu, termasuk pengadaan mebel dan keperluan kantor, baru-benar-benar selesai pada 1712.

Total biaya pembangunan balai kota baru lengkap dengan penjara, lebih dari 60.000 rijksdaalders, membengkak jauh dari anggaran awal yang sekitar 30.000 rijksdaalders. Dan semua dana itu dikeruk dari rakyat lewat berbagai pajak yang sangat tinggi.
   
 
 

WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Museum Prasasti, Taman yang Memamerkan Batu Nisan


Sabtu, 28 Februari 2009 | 14:32 WIB
MUSEUM biasanya berbentuk gedung dengan sejumlah ruang pamer untuk ratusan bahkan ribuan koleksi yang tersedia. Namun kebiasaan itu tidak ditemukan di Museum Prasasti yang terletak di Jalan Tanah Abang I Nomor 1, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Bangunan gerbang masuk museum berupa gedung tua bergaya doria yang berdiri kokoh dengan sejumlah tiang penyangga yang besar-besar. Sekilas, dari depan, tidak tampak sesuatu yang beda pada museum tersebut.

Namun Museum Prasasti sesungguhnya merupakan taman terbuka dengan pohon-pohon rindang yang memamerkan koleksi batu nisan, umumnya nisan tokoh-tokoh penting pemerintah kolonial Belanda dan Inggris berserta keluarga mereka.

Ini barangkali salah bentuk dari dark tourism yang secara sederhana bisa dikatakan sebagai kegiatan turisme yang menampilkan obyek, atraksi, atau pameran yang berkaitan dengan kematian, penderitaan, dan bencana. Dark tourism kini menjadi salah satu model yang ditawarkan industri pariwisata dunia setelah wisata sejarah, budaya atau ekoturisme.

Sejak 1795
Kompleks Museum Prasasti dulunya memang lahan pemakaman orang-orang Belanda dan Inggris. Namanya pemakaman Kebon Jahe Kober. Pemakaman itu dibangun tahun 1795 karena tempat pemakaman orang Belanda di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk) yang sekarang jadi Museum Wayang di kawasan Kota sudah penuh.

Tahun 1844 Pemerintah Hindia Belanda membangun gedung induk bergaya doria untuk ruang tunggu para kerabat dan pelayat serta sebagai tempat persemayaman jenazah. Sekarang, bangunan itu digunakan sebagai gerbang masuk, loket pembelian tiket, dan ruang pamer.

Pada masa itu, orang yang meninggal di rumah sakit (gedung rumah sakit itu sekarang jadi Museum Bank Indonesia di kawasan Kota, Jakarta Barat), jenazahnya diangkut pakai perahu jenazah melalui Kali Krukut ke Pekuburan Kebon Jahe Kober.

Di ujung Jalan Tanah Abang I, jenazah diturunkan dari perahu, kemudian dibawa dengan kereta jenazah yang ditarik dua sampai empat ekor kuda ke kompleks pemakaman. Jumlah kuda penarik kereta menunjukkan strata sosial orang yang meninggal. Semakin banyak kuda berarti orang yang meninggal itu berasal dari kalangan berpengaruh dalam masyarakat Batavia.

Setelah Indonesia merdeka, makam itu digunakan untuk umum, terutama bagi orang yang beragama Kristen. Sejak tahun 1975 pemakaman itu ditutup, kemudian dipugar dan ditata kembali. Sebelum ditata, banyak jenazah yang digali lalu dipindahkan ke pekuburan lain di Jakarta.

Karena perkembangan kota, luas kompleks yang semula 5,5 hektar menciut tinggal 1,3 hektar. Sebagian lahannya telah dimanfaatkan untuk jadi Kantor Wali Kota Jakarta Pusat sekarang ini.

Tokoh Penting
Pada Juli 1977 kompleks pemakaman itu diresmikan jadi Museum Prasasti. Sekarang ini, museum tersebut memiliki 1.300 koleksi yang umumnya berupa batu nisan orang-orang yang dimakamkan di tempat itu. Beberapa nama yang mewarnai pemerintah kolonial di Nusantara dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu adalah AV Michiels (terkenal pada Perang Buleleng), Dr HF Roll (pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran zaman Belanda), JHR Kohler (terkenal pada perang Aceh), dan Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles).

Selain nisan orang-orang Belanda, ada pula makam puluhan tentara Jepang yang tewas di kawasan Bogor, miniatur makam dari berbagai provinsi di Indonesia, replika perahu, dan kereta jenazah yang digunakan pada zaman Belanda, serta peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta.

Di halaman belakang kompleks, terdapat lonceng dari perunggu yang dipasang di tiang besi setinggi empat meter. Lonceng itu tidak asli lagi. Lonceng dulu dibunyikan untuk memberi tanda kepada petugas makam bahwa ada yang meninggal dan akan dimakamkan di tempat itu. Jika dibunyikan untuk kedua kalinya, itu berarti jenazah sudah akan diturunkan dari perahu dan petugas makam harus mempersiapkan diri untuk upacara pemakaman.

Sepi
Meski menawarkan konsep dark tourism dan tertata cukup rapi serta dipenuhi pohon-pohon rindang, museum itu, sayangnya, tergolong sepi pengunjung. Sebulan pengunjungnya rata-rata 50 orang.

Pihak pengelola sepertinya juga tidak cukup berupaya untuk membuat pengunjung tertarik. Pengelola tidak menyediakan informasi yang memadai tentang koleksi-koleksi yang ada di museum tersebut. Satu-satunya sumber informasi bagi pengujung adalah brosur resmi yang ditebitkan tahun 2001, itu pun diberikan jika diminta.

Alhasil, museum itu tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Untuk membiayai kegiatan operasional dan pemeliharaan, museum tersebut setiap tahun mengandalkan kucuran dana dari ABPD DKI Jakarta. *

Egidius Patnistik

Taman Fatahilla

ruang menatap langit foto: fb



Di Kota tua ini,  memanjakan mata Anda  dengan keberadaan arsitektur bangunan  tua yang mendominasi areal seluas 139 hektar ini.  Kota Tua yang berada di utara Jakarta ini diketahui sebagai cikal bakal Kota Jakarta ibu kota Indonesia.

Di kawasan ini,  ada lima lokasi bersejarah yang dapat dijadikan tujuan untuk berwisata di Kota Tua.  Pertama,  Pelabuhan Sunda Kelapa.   Kedua tiga bangunan Batavia di jantung Kota Tua yang difungsikan sebagai museum, yaitu Museum Sejarah (Museum Fatahillah),  Museum Wayang dan Museum Seni Rupa.  Ketiga yaitu Kali Besar, Museum Mandiri dan Stasiun Kereta Api Kota (Beos). 

Museum Fatahillah

Gedung ini dulu adalah Stadhuis atau Balai Kota,  dibangun tahun 1707-1710 atas perintah Gubernur Jenderal Johan Van Hoorn.   Arsitektur bangunannya bergaya Barok klasik tiga lantai dengan cat kuning tanah pada dinding.
 
Koleksi museum yang pada 30 Maret 1974 diresmikan sebagai Museum Fatahillah ini antara lain berisi perjalanan sejarah Jakarta,  koleksi  kebudayaan Betawi.  Bahkan  patung Dewa Hermes dan meriam Si Jagur yang dianggap mempunyai kekuatan magis menurut mitos.
dana di dengah alun-alun terdapat tugu dan di kelilingi pentagram.

Selain itu,  terdapat bekas penjara bawah tanah dan Taman Dalam Taman seluas 1000 meter yang dimanfaatkan untuk resepsi pernikahan.  Museum dengan waktu buka 09.00 - 15.00 WIB ini juga menyediakan cinderamata untuk kenang-kenangan.  Tarif masuk untuk setiap museum Rp 2 ribu  untuk dewasa dan Rp 1.500 untuk mahasiswa dan pelajar.

Taman Fatahillah dan Areal Sekitarnya

Berbagai aktivitas wisata bisa dilakukan di lokasi ini.  Jika  malas berjalan kaki,   dapat menyewa sepeda ontel untuk berkeliling  dengan biaya Rp 20 ribu, karena tak ada ojek gendong he.he.he.

Berbagai  festival kerap diadakan di lokasi ini.  “Ada empat event tahunan yang biasa kami gelar di kota tua yaitu, Batavia Art Festival, Festival kota tua, Festival Tempo Dulu dan Atraksi Wisata Kota Tua” ujar Chadrian, ketua UPT Kota Tua

Sejarah

Kota Tua bermula pada tahun 1610,  perusahaan dagang Belanda VOC yang dipimpin Jan Pieterzoon Coen menyerang Kota Jayakarta hingga hancur lebur.  Kemudian pada tahun 1620 di atas reruntuhan kota Jayakarta, Belanda membangun kota baru yang diberi nama Batavia dengan pusat kotanya di sekitar Taman Fatahillah.

Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti menjadi  Jakarta. Batas kota Batavia dulunya seluas 139 hektar. Kemudian karena perkembangan kota sekarang, maka diperluas menjadi 846 hektar yang termasuk di dalamnya Pelabuhan Sunda Kelapa, Pasar Ikan hingga kearah selatan yaitu pusat perdagangan Pecinan Glodok.  Tapi wilayah  yang dijadikan inti kawasan kota tua meliputi Bangunan Balaikota (Museum Fatahillah sekarang) dan sekitarnya.

Transportasi 

Untuk mencapai lokasi ini cukup strategis. Pengunjung dapat memanfaatkan bus Transjakarta (Busway). Ada yang tujuan Pulogadung-Kota ataupun Blok M-Kota. Atau  jika turis asing dapat melalui halte Kalideres yang dekat Bandara Soekarno-Hatta.

Selain itu bisa juga naik ular besi yang akan turun di Stasiun Kota dari arah Bekasi, Tangerang dan Bogor, cobalah dengan percuma.  Jika hendak menggunakan kendaraan pribadi,  direkomendasikan pada hari Sabtu -Minggu  dan hari libur banyak yang berkujung di kota tua ini jadinya tak bisa menikmati dengan leluasa apa lagi yang ingin mengabadikan dengan kamera dan bernarsis .

ulianov

Historia vitae magistra (sejarah merupakan guru kehidupan).

foto: kompas.com


SUATU siang di tahun 1770-an. Pasar di depan gerbang Benteng Belanda Meester Cornelis, sekitar 15 kilometer dari Batavia, tengah menggeliat. Seorang kusir Jawa memarkir pedati, lalu melepas kerbau di dekat pedatinya itu. Di sisi lain, di bawah gubug, beberapa wanita sedang menggelar barang dagangannya di atas kain, sementara pelanggan berlalu-lalang.

Benteng berbentuk bintang tujuh dengan gardu berpenjaga yang dipersenjatai meriam berada di sisi Sungai Ciliwung. Benteng itu berfungsi untuk menjaga akses ke arah Buitenzorg (Bogor). Dalam benteng ada menara, tampak pula atap genteng rumah perwira komandan barak prajurit Eropa. Ada bangunan beratap daun kelapa yang merupakan tempat penyimpanan (gudang) dan tempat tinggal pekerja. Di atas tembok benteng terdapat kandang burung dara yang sengaja dipelihara untuk dikonsumsi.

Demikian deskripsi untuk lukisan Johannes Rach tentang pasar di depan Benteng Mester Cornelis. Lukisan itu kini menjadi salah satu koleksi digital Perpustakaan Nasional dan bisa diakses melalui situs digital.pnri.go.id/collection. Teks keterangan lukisan dibuat Max de Bruijn dan Bas Kist. Johannes Rach sendiri seorang pelukis topografi VOC berkembangsaan Denmark yang tinggal di Batavia tahun 1763 hingga ia meninggal tahun 1783.

***

BENTENG Meester Cornelis kini tak berbekas. Sementara pasar dalam lukisan itu boleh jadi merupakan cikal bakal Pasar Jatinegara di Jakarta Timur saat ini. Pasar Jatinegara merupakan salah satu aset penting PD Pasar Jaya, perusahan daerah milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Wilayah Jatinegara dulunya memang bernama Mester Cornelis. Sampai sekarang Pasar Jatingara pun disebut Pasar Mester. Pada pintu masuk pasar dari Jalan Jatinegara Timur terpampang tulisan "Pasar Mester'. Para kondektur bus pun masih berteriak 'mester... mester...' ketika melintas di daerah Jatinegara. Mereka hendak memberi tahu penumpang bahwa bus sudah sampai di wilayah Mester Cornelis.

Nama Mester Cornelis mengacu kepada seorang bernama Cornelis Senen, seorang pria kaya asal Pulau Lontor, Banda, Maluku yang bermukim di Batavia sejak tahun 1621. Di Batavia, Cornelis menjadi guru agama kristen, membuka sekolah, dan memimpin ibadat agama kristen serta menyampaikan kotbah dalam Bahasa Melayu dan Portugis. Jabatannya sebagai guru itulah yang membuat ia mendapat 'gelar' Meester, atau 'tuan guru'.

Cornelis berniat jadi pendeta tetapi ia ditolak. Belanda memberi dia hak istimewa untuk menebang pohon di tepi Kali Ciliwung. Dia juga memunyai sebidang tanah luas penuh pepohonan di pinggir Ciliwung. Tanah luas penuh pepohonan itulah yang kemudian dikenal dengan nama Meester Cornelis. Menjelang berakhrinya masa penjajahan Belanda, kawasan itu menjadi suatu kotapraja tersendiri, wilayahnya mencakup Bekasi sekarang ini.

***

WILAYAH Mester Cornelis berubah nama jadi Jatinegara pada zaman Jepang. Ada yang berpendapat perubahan tersebut karena di daerah itu ditemukan banyak pohon jati. Namun ada pula yang berpendapat, nama Jatinegara mengacu kepada 'negara sejati' yang sudah dipopulerkan Pangeran Jayakarta jauh sebelumnya. Pangeran Jayakarta mendirikan perkampungan Jatingera Kaum di wilayah Pulogadung, Jakarta Timur setelah Belanda menghancurkan keratonnya di Sunda Kelapa.

Entah mana yang benar. Yang pasti sampai kini di Jatinegara banyak terdapat bangunan-bangunan tua bersejarah, di antaranya Stasiun Kereta Api Jatinegara, Gereja GPIB Koinonia, bagunan bekas markas Kodim 0505, Pasar Lama Jatinegara, rumah langgam Cina, kelenteng, dan gedung SMP 14 Jatinegara (di samping Jatinegara Plasa).

Sayangnya, tidak banyak yang diketahui tentang masa lalu bangunan-bangunan itu. Gedung SMP 14 misalnya, tidak diketahui sejarahnya, demikian juga bangunan stasiun Jatinegara dan Kantor Pos Jatinegara.

Wilayah Jatinegera mulai berkembang cepat awal abad ke 20, tepatnya sekitar tahun 1905, seiring dengan perluasan wilayah Batavia. Banyak bangunan di Jatinegara dibangun pada periode itu. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kini berupaya menelusuri sejarah sejumlah bangunan-bangunan itu, antara lain dengan melakukan riset sejarah, menerima masukan dari masyarakat dan berkordinasi dengan lembaga-lembaga terkait.

Sejauh ini bangunan yang masuk dalam daftar usulan bangunan cagar budaya baru bekas gedung Kodim 0505 di Jalan Raya Bekasi Timur. Bangunan bekas rumah bupati Mester itu sempat jadi 'markas' pedagang kaki lima.

Ada kecemasan, banguna-bangun tua bersejarah di kawasan itu akan hilang tak berbekas. Pasalnya, Pemerintah Kota Jakarta Timur tengah merancang penataaan kawasan tersebut jadi kawasan perdagangan. Penataan dijadwalkan kelar tahun 2010. Meski ada penegasan dari Pemerintah Kota Jakarta Tiimur bahwa Jatinegara merupakan kawasan perdagangan yang memiliki nilai sejarah tinggi, seperti halnya kawasan Glodok, tetapi itu saja tidak cukup. Sampai saat ini, keberadaan bangunan-bangunan itu sebagai bangunan bersejarah tidak punya dasar hukum.

Motif-motif ekonomi kiranya tidak mengurangi niat untuk menggali kisah masa lalu bangunan-bangun tua yang ada. Bagaimanapun, bangunan tua bersejarah sesungguhnya bisa mendatangkan uang bila dikemas menjadi sebuah dagangan, yaitu 'dagang sejarah'. Tetapi kalau sejarah gedung-gedung itu saja tidak diketahui, lantas apa yang bisa dijual?

kanibalisasi sumber internet

Senin, 22 Agustus 2011

Ruang Terbuka Hijau

ruang terbuka foto from fb
Dari luas daratan DKI Jakarta sebesar 661,52 kilometer persegi, baru 9,8 persen yang termasuk ruang terbuka hijau. Padahal, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Hutan Kota disebutkan, sebuah kota seharusnya memiliki 20-30 persen RTH.
"Kurangnya ruang hijau ini sangat berperan pada kualitas udara di Jakarta yang sangat buruk," ujar Wakil Ketua Komisi VII DPR Effendy Simbolon, Senin (25/4/2011) kompas.com, saat melakukan kunjungan ke Balaikota.
Ia pun mempertanyakan keseriusan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang tidak tegas mengendalikan jumlah kendaraan bermotor di Ibu Kota akibat transportasi umum kurang berkembang. Padahal, 70 persen polusi udara disumbang kendaraan bermotor.
Terhadap hal ini, Gubernur DKI Fauzi Bowo mengakui kritikan Komisi VII itu memang terjadi di Ibu Kota. Namun, Fauzi menyatakan bahwa ada beberapa hal yang sulit direalisasikan. Contohnya, penambahan RTH menjadi 30 persen luas Ibu Kota.
"Nah, ini aturan tentang RTH ini seharusnya tidak hanya menghitung RTH publik, tetapi juga RTH pribadi," ujarnya.
Jika RTH publik dan privat digabung,akan menambah jumlah RTH. "Saya yakin RTH DKI Jakarta seluas 30 persen bisa tercapai," katanya.
Sementara untuk mengatasi polusi udara bukanlah perkara mudah. Pasalnya, di jalanan setiap hari bertambah 1.000 kendaraan roda dua dan 400 kendaraan roda empat.

Jakarta tanpa sebuah celah untuk kembali merenung menatap langit yang biru , jakarta siang ini tampak berdebu dan langit di penuhi asap polusi kendraan bermotor yang menyesakan. Tanpa sebuah runag terbuka hijau yang memberikan setitik embun di tengah pagi yang terlewat siang .


pembajak kota

Ruang Yang Menatap Langit

cloud_gate_iii_by_alierturk-d2cr7xx
Ruang yang bisa menatap langit ,menatap menghitamnya langit di antara
kedipan bintang-bintang yang selalu menyapaku di penghujung hari.Ruang terbuka memang terkadang Cuma di spelekan orang ,tetapi di dalam ruang yang terbuka di
dalam kesempitan hidup yang berhimpitan di kotak-kotak di kota yang semakin semerawud,di gang-gang yang berhimpitan badan terasa sesak bila melewatinya
apalagi harus menunduk melewati atap-atap yang penuh dengan celah-celah cahaya
di siang yang terik.

Di dalam keterbukaan banyak ruang-ruang yang kosong dan terbuka di tutup yap’s ,..tanah sengketa, tapi sayang kita bisa menikmati sebuah ruang terbuka yang
gratis menikmati pemandangan langit apalagi di malam hari dan udara yang begitu segar membuat kita terlepas dari kesempitan hidup yang semakit terjerat
kapitalisme yang menjual image dan nilai citra brand produk asshu juga..
Ruang yang sempit berhimpitan tak ada space (ruang) untuk memandang langit
yang membuat kita berfikir terbuka dalam hidup.

Dalam ruang yang terbuka dalam membuka diri dalam keterbukaan hidup menjadi sebuah hidup. Hidupkan, hidup ini dari kekomaan. Sebuah mimpi dalam komaa yang terjadi .Sebuah koma yang terjadi apa yang menjadikan ontologi itu sebuah hasrat yang mendalam sebagai sebuah anti klimak’s hidup, dalam batas antara kehidupan
dan kematian (koma).

Ruang-ruang yang terbuka bila malam terasa indah memandang langit,semua problem hidup hilang menatap langit yang terbuka ditaburi bintang yang mengedipkan sinarnya sampai kedalam hati oh,begitu lepas melayang bebas tanpa hambatan ke atas langit yang hitam di penuhi bintang-bintang penuh dengan optimisme ..hidupkan ..hidupmu .. Hidup kita semua..

Memandang langit di antara celah-celah ruang yang sempit diantara bangunan
yang berhimpitan membuat ketenangan yang bisa langsung menatap langit. Bila siang bisa menatap horizon yang jauh tak terbatas dan bila malam bisa memandang bintang. Tinggal di dalam kotak-kotak yang sempit memandang kesempitan.Keleluasaan dalam memandang ruang terbuka adalah, keluasan bersilahturahmi dengan langit merupakan suatu keterbukaan hidup diantar sekat-sekat yang sempit. Dalam hidup semakin terhimpit

cuma urusan konsumsi saja,yang bisa buat kita bahagia tanpa membeli untuk kebutuhan sebenarnya bukan kita butuhkan. Dengan memandang langit di ruang terbuka semua urusan segala macam hilang dan kembali untuk menggapai bintang di antara hitamnya langit malam