Selasa, 23 Agustus 2011

Museum Prasasti, Taman yang Memamerkan Batu Nisan


Sabtu, 28 Februari 2009 | 14:32 WIB
MUSEUM biasanya berbentuk gedung dengan sejumlah ruang pamer untuk ratusan bahkan ribuan koleksi yang tersedia. Namun kebiasaan itu tidak ditemukan di Museum Prasasti yang terletak di Jalan Tanah Abang I Nomor 1, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Bangunan gerbang masuk museum berupa gedung tua bergaya doria yang berdiri kokoh dengan sejumlah tiang penyangga yang besar-besar. Sekilas, dari depan, tidak tampak sesuatu yang beda pada museum tersebut.

Namun Museum Prasasti sesungguhnya merupakan taman terbuka dengan pohon-pohon rindang yang memamerkan koleksi batu nisan, umumnya nisan tokoh-tokoh penting pemerintah kolonial Belanda dan Inggris berserta keluarga mereka.

Ini barangkali salah bentuk dari dark tourism yang secara sederhana bisa dikatakan sebagai kegiatan turisme yang menampilkan obyek, atraksi, atau pameran yang berkaitan dengan kematian, penderitaan, dan bencana. Dark tourism kini menjadi salah satu model yang ditawarkan industri pariwisata dunia setelah wisata sejarah, budaya atau ekoturisme.

Sejak 1795
Kompleks Museum Prasasti dulunya memang lahan pemakaman orang-orang Belanda dan Inggris. Namanya pemakaman Kebon Jahe Kober. Pemakaman itu dibangun tahun 1795 karena tempat pemakaman orang Belanda di samping Gereja Baru (Nieuwe Hollandse Kerk) yang sekarang jadi Museum Wayang di kawasan Kota sudah penuh.

Tahun 1844 Pemerintah Hindia Belanda membangun gedung induk bergaya doria untuk ruang tunggu para kerabat dan pelayat serta sebagai tempat persemayaman jenazah. Sekarang, bangunan itu digunakan sebagai gerbang masuk, loket pembelian tiket, dan ruang pamer.

Pada masa itu, orang yang meninggal di rumah sakit (gedung rumah sakit itu sekarang jadi Museum Bank Indonesia di kawasan Kota, Jakarta Barat), jenazahnya diangkut pakai perahu jenazah melalui Kali Krukut ke Pekuburan Kebon Jahe Kober.

Di ujung Jalan Tanah Abang I, jenazah diturunkan dari perahu, kemudian dibawa dengan kereta jenazah yang ditarik dua sampai empat ekor kuda ke kompleks pemakaman. Jumlah kuda penarik kereta menunjukkan strata sosial orang yang meninggal. Semakin banyak kuda berarti orang yang meninggal itu berasal dari kalangan berpengaruh dalam masyarakat Batavia.

Setelah Indonesia merdeka, makam itu digunakan untuk umum, terutama bagi orang yang beragama Kristen. Sejak tahun 1975 pemakaman itu ditutup, kemudian dipugar dan ditata kembali. Sebelum ditata, banyak jenazah yang digali lalu dipindahkan ke pekuburan lain di Jakarta.

Karena perkembangan kota, luas kompleks yang semula 5,5 hektar menciut tinggal 1,3 hektar. Sebagian lahannya telah dimanfaatkan untuk jadi Kantor Wali Kota Jakarta Pusat sekarang ini.

Tokoh Penting
Pada Juli 1977 kompleks pemakaman itu diresmikan jadi Museum Prasasti. Sekarang ini, museum tersebut memiliki 1.300 koleksi yang umumnya berupa batu nisan orang-orang yang dimakamkan di tempat itu. Beberapa nama yang mewarnai pemerintah kolonial di Nusantara dan jenazahnya dimakamkan di tempat itu adalah AV Michiels (terkenal pada Perang Buleleng), Dr HF Roll (pendiri STOVIA atau Sekolah Kedokteran zaman Belanda), JHR Kohler (terkenal pada perang Aceh), dan Olivia Marianne Raffles (istri Thomas Stamford Raffles).

Selain nisan orang-orang Belanda, ada pula makam puluhan tentara Jepang yang tewas di kawasan Bogor, miniatur makam dari berbagai provinsi di Indonesia, replika perahu, dan kereta jenazah yang digunakan pada zaman Belanda, serta peti jenazah Bung Karno dan Bung Hatta.

Di halaman belakang kompleks, terdapat lonceng dari perunggu yang dipasang di tiang besi setinggi empat meter. Lonceng itu tidak asli lagi. Lonceng dulu dibunyikan untuk memberi tanda kepada petugas makam bahwa ada yang meninggal dan akan dimakamkan di tempat itu. Jika dibunyikan untuk kedua kalinya, itu berarti jenazah sudah akan diturunkan dari perahu dan petugas makam harus mempersiapkan diri untuk upacara pemakaman.

Sepi
Meski menawarkan konsep dark tourism dan tertata cukup rapi serta dipenuhi pohon-pohon rindang, museum itu, sayangnya, tergolong sepi pengunjung. Sebulan pengunjungnya rata-rata 50 orang.

Pihak pengelola sepertinya juga tidak cukup berupaya untuk membuat pengunjung tertarik. Pengelola tidak menyediakan informasi yang memadai tentang koleksi-koleksi yang ada di museum tersebut. Satu-satunya sumber informasi bagi pengujung adalah brosur resmi yang ditebitkan tahun 2001, itu pun diberikan jika diminta.

Alhasil, museum itu tidak mampu menghidupi dirinya sendiri. Untuk membiayai kegiatan operasional dan pemeliharaan, museum tersebut setiap tahun mengandalkan kucuran dana dari ABPD DKI Jakarta. *

Egidius Patnistik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar