Selasa, 18 Maret 2014

HIDUP KATA KERJA, BUKAN KATA MITOS




BIR (BIncang Ringan) HIDUP KATA KERJA BUKAN KATA MITOS 
( penulis: Jayadi K. Kastari artikel budaya terbitan  PENDAPA Tamansiswa , Edisi 51 Tahun XIX 2008 )

Kata ‘MITOS’ dalam percakapan yang sering kita dengar sehari-hari kata mitos lekat pada sebuah hal yang melekat pada tradisi lisan dari pada sebuah tradisi tulisan. Mitos pemahaman adalah dimana kita mengagung-agungkan sebuah mimpi. Yang membuat orang terlena karena sebuah cerita mimpi yang terlalu kosong. Mimpi yang agung-agungkan dan selalu saja di kobar-kobarkan, di dengung-dengungkan sehingga orang-orang jadi setengah percaya dan terlena dibuatnya. Kenapa menjadi setengah percaya? karena menjadi sesuatu yang ironis. Bertolak belakang dengan keadaan sesunguhnya (realitas).  Yang paling sering di dengung-dengungkan adalah mitos Indonesia adalah zamrud khatulistiwa. Ijo royo-royo, gemah ripah lohjonawi tata-titi-tentrem kerta raharja. Seperti yang prologkan dalam pergelaran wayang kulit. Itulah mitos Indonesia dalam imajinasi Pak Dalang. 


Mimpi yang di kemas dengan mitos itu adalah sebenarnya fatamorgana saja. Impian kosong yang seperti biasa menyesatkan dari kenyataan sebenarnya bukan tata titi & tentrem, juga harus ngati-ati, setiti lan urip kudu gumi (harus berhati-hati, hidup harus sederhana dan berhemat). Apa pun harus berhemat dan hidup sederhana sesuai dengan kebutuhanya bukanya menjadi konsumtif karana prestise semata. Sejak kenaikan BBM biaya hidup menjadi sangat mahal. Kehidupan di Indonesia menjadi mahal sekali seperti beras mamenjadi sangat mahal, pendidikan mahal, biaya hidup mahal. Ada mahasiswa yang berdemo sampai berbusa-busa bahkan berdarah-darah menuntuk pendidikan murah atau pun pendidikan gratis, harga beras di turunkan bahkan menjadi angin lalu saja. Pengamat pendidikan justru malah menohok aktifis mahasiswa, mana ada pendidikan berkualitas murah? Kalau mau pendidikan yang berkualitas harus siap dengan konsekwensinya. Pendidikan harus mahal. Kalau sudah membayar uang kuliahnya murah meminta fasilitas yang baik dan berkualitas prima itu berarti tak tahu diri. Pendidikan murah kualitasnya menjadi murahan. Mitos jawa selau mengajarkan bahwa: “jer basuki mawa bea” jika ingin hidup berhasil harus berani berkorban apa saja, tenaga, pikiran, termasuk harta benda. Tak ada keinginan lebih baik hanya ongkang-ongkang kaki. Tidak mau berproses. Tidak ada keberhasilan yang datang dengan sendiri atau pun jatuh dari langit. Keberhasilan harus di tebus dengan kerja keras, keringat, kalau perlu airmata.
 
bir :bincang ringan komunitas baca-baca di taman
meminjam sebuah idiom sebuah acara yang sudah tak tanyang lagi sekarang. Idiomnya seperti ini mungkin masih ingat “Wapres” Ucup Keliek, di Indonesia itu yang berlaku sebenarnya “bukan kerja keras , tapi keras dulu baru kerja”. Bahasa guyonan memang, setelah keras baru bisa bekerja. Masyarakat Indonesia di buai oleh mitos . mitos kalau tidak dimaknai dengan kerja keras, justru menjadi terelan dan pemalas. Taruhlah beras, bukanya petani yang diberi kemudahan pemerintah agar bisa panen raya dengan baiak, tetapi pemerintah mencari jalan pintas, kurang beras sealau impor. Fulus impor beras untuk para pejabat. Itu hanya menyelesaikan persoalan sesaat, tetapi sangat menyesatkan dan menyengsarakan petani. Etos keja petani sering tidak di hargai pemerintah sendiri. Saat panen raya pemerintah malah mengimpor beras berton-ton dari manca negara. Mitos kalau tidak dimaknai secara konstruktif justru membuat terlana dan akhirnya menuju jurang kehancuran. Bukanya kemakmuran yang di dapat justru kehancuran dan kemeralatan.

Bagaimana tidak hancur, mitos Negara yang beradab, tetapi etika dan moralitas sudah dilanggar. Setidaknya banyak kasus, pejabat memperkaya diri meski rakyatnya di bantai busung lapar. Pejabat hidup glamor, pamer kemewahan di tengah rakayat kecil yang beli beras saja tidak mampu. Pejabat bukanya menjadi teladan, berapa banyak pejabat yang menjadi koruptor. Pejabat seharusnya menjadi pelayan. Melayani rakyat, justru minta dilayani rakyat. Kalau dulu masa perjuangan, para pemimpin bangsa ini memberikan apa yang ia punya untuk rakyat, bangsa dan Negara. Pejabat sekarang justru mengambil milik Negara dan rakyat apa saja demi kepentingan sendiri.

Mitos memang menyimpan mimpi masa lalu demi keinginan masa mendatang. Mitos itu sendiri sering menjai sesuatu yang paradoksal. Bertitik tolak belakang dengan kenyataan yang terjadi, bisa-bisa memang menyesatkan. Tak usah jauh-jauh, dunia kampus juga sering membeikan teori muluk-muluk, mahasiswa menjadi terlena. Kampus dinanggap menjadi gerbang hidup mapan. Begitu didapat kenyataan yang terjadi, ketika justru label “sarjana” yang didapat tantangan justru semakin berat. Diam-diam, akhirnya menjadi sarjanapenganguran. Sarjana dengan predikat “ panji klantung” alis “klontang –klantung” wira-wiri mencari pekerjaan, imilh contoh , ketika masuk kuliah itu hanya jadi “sambilan” alis sambil lalau lalang tidak jelas orientasinya. Ketika lulus benar-benar lalu-lalang. Saya pribadi salut dengan mahasiswa kuliah sambil bekerja. Dengan bekerja sesunguhnya ia kuliah di universitas kehidupan.

Menyinggung soal penganguran pada saat itu data yang di peroleh tahun 2007. Menkokestra pada saat itu Abdul Rizal Bakrie menginformasikan tahun 2007 naik penganguran 2,5 juta. Bukanya tingkat kemakmuran tapi penganguran yang meningkat. Angka ini berasal dari angkatan kerja baru lulusan pendidikan sebanyak 2,3 juta dan 200 ribu kehilangan pekejaan akibat bencana alam: tanah longsor, gunung meletus, gempa bumi, banjir dan sebagainya. Padahal tahun 2007 ada 10,9 juta pengangguran. Tentu saja mencemaskan keresahan kerawanan sosial. Pada tahun 2013 menurut BPS tingkat penganguran kini Tahun ini tercatat ada 360 ribu orang sarjana lulusan universitas yang masih menganggur dari total pengangguran sebanyak 7,39 juta jiwa.

Pertanyaan, apakah anda akan menyusul menjadi penganguran intelektual? Mitos ketika menjadi sarjana mencari pekerjaan mudah, jangan percaya. Justu realitas menunjukan menjadi sarjana mencari pekerjaan sangat sulit. Kecuali ia mempunyai bekal skil dan kemandirian. Hanya orang-orang yang benyali yang bisa lolos dari lubang jarum penganguran intelekual. Selamat datang didunia nyata, bukan mitos. Hidup kata kerja, bukan kata mitos.

Dijahit oleh: Uu untuk ruangmenataplangit.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar