Revolusi Agustus ‘45
Kudeta April 2014 Menteng
Sesi BIR..BIncang Ringan
Salam dan bahagia sabtu malam minggu di depan umah kaca,
taman menteng yeah kudeta berkumpul dengan teman di awal bulan yang begitu
terasa tak menentu cuaca yang anomaly serta para kontentan pemilu 2014 yang
semakin mendekati masa pemungutan suara. Minggu tenang mengarahkan masa pada
akhir kampanye yang tak terlalu menjadi antusias rakyat kebanyakan karena
semuanya itu hanya menjadi sebuah ironi dimana yang katanya berdaulat di bidang
politik, berkepribadian dalam budaya serta berdikari dalam bidang ekonomi tapi
hanya jargon dan propaganda yang bermodal uang yang bisa menjadi wakil rakyat
sementara rakyat hanya sebagai penonton. Revolusi agustus ’45 belum di jalankan
yang ajadi pesimisme didalam masyarakat tak percaya lagi dengan elit poltik dan
partai yang menjadi wakil sebuah oligarki kepentingan yang ingin berkuasa dan
mepertahankan kekuasaan demi mengisap kekayaan alam untuk para kapitalisme dan
imperialism yang berbaju baru yaitu neoliberalisme. Rakyat hanya di sanjung-sanjung
ketika di butuhkan saat pemilu saja, kalau ada partai yang semacam ini Cuma
hanya meng
azaskan manfaat kalau sudah terpenuhi keinginanya rakyat malah
di ditindas dengan kenaikan keutuhan hidup yang semakin mencekik yang katanya
mereka wakil rakyat atau mengusung partai atas nama rakyat tapi rakyat yang
mana? Rakyat segelintir golongan yang berkuasa saja serta anteknya kebagian
ciparatan saja
Setelah 68 tahun, dimana pada tahun 1945. Ketika kemerdekaan negeri ini diproklamirkan,
cita-cita yang terukir di benak setiap orang Indonesia kala itu adalah:
masyarakat adil dan makmur.Suara rakyat bukan suara golongan berkuasa
mengatasnamakan rakyat tapi mengekploitasi rakyat. Revolusi agustus ’45 dengan
semangat membangun bangsa dan Negara lewat sebuah pertarungan kekuasaan secara
damai yaitu dengan pemilu. Tapi sampai sekarang mana mereka yang mengatas namakan
sebuah intustusi Negara dengan ideology Pancasila tapi tak ada satu pun sila
yang di jalankan secara konsekwen Cuma jadi hiasa kata-kata pemanis belaka dan
UUD’45 Cuma hanya jadi tameng mereka untuk menipu rakyat, akan tetapi mereka
tak pernah menjalankan, hanya menjalankan apa kata pemodal (kapitalisme).
Rakyat pemsimis dengan pemilu yang akan melahirka penindasan
baru atau sebuah optimisme adanya pemerintahan dan wakil rakyat yang lebih baik
seperti judi tapi judi yang menang pasti Bandar yang punya modal dengan tipu
muslihat menghipnotis rakyat yang dengan citra merakyat tapi nyatanya tak
pernah menjalankan amanat rakyat dalam pasal 33 UUD’45 bahwa sesunguhnya yang
menyangkut hak hidup adalah eberada di dalam control rakyat tapi nyatanya
mereka menjualnya kepada pemilik modal asing. Beginilah demokrasi liberal.
Demokrasi Liberal Tidak Menjawab Persoalan Rakyat, Dalam sejarah Indonesia pernah menerapkan sistim demokrasi
liberal, yakni dari tahun 1950 hingga tahun 1959. Saat itu Indonesia
tergelincir dalam ketidakstabilan politik dan pertikaian antar golongan. Bung
Karno juga mengeritik dari sebuah esensi demokrasi liberal itu, yang hanya
memberikan kebebasan atau persamaan/kesetaraan di biadang politik saja, tetapi
tidak ada persamaan di dalam bidang ekonomi. sekalipun setiap warga negara
dianggap punya hak yang sama di lapangan politik, tetapi pada kenyataannya hampir
semua lembaga politik dikontrol kaum pemilik modal.
“Siapa yang menang, ya, mereka yang
pasti punya modal besar. Mereka yang menguasai semua alat propanda, seperti
lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, media massa, universitas, dan lain-lain.
Mereka bisa membeli suara rakyat yang dimiskinan oleh system yang busuk
(baca;kapitalisme). Mereka juga bisa membeli loyalitas lembaga pelaksana
pemilhan umum.
“Bung Karno tidak setuju dengan konsep
demokrasi liberal itu. Menurutnya, demokrasi liberal hanya melahirkan
lingkungan politik yang tidak stabil dan memicu perpecahan bangsa. Dan itu
tidak relevan dengan konteks perjuangan melikuidasi kolonialisme dan
imperialisme,” orde baru Soeharto boleh tumbang tapi orde barunya tetap
terbaharukan dengan system yang terus berevolusi dengan para pemimpin yang
menjadi agen neoliberalisme mencengkram dengan tak sadar bahwa sepenuhnya kita
dijajah dengan kebijakan yang membuat rakyat tak punya kekuatan lagi dan
dimiskinkan baik ekonomi maupun kesadaran politik.
Tanpa sebuah program yang jelas
berdasarkan kepetingan rakyat sosialime bukanya seperti sekarang yang
dijalankan adalah demokrasi liberal sebagai “pemerintahan dari pasar, oleh
pasar, dan untuk pasar. Itu sudah sangat
jelas sekali. Lihat saja, sesengit apapun perdebatan di parlemen, mereka
tak boleh mengganggu kebebasan pasar. hampir semua kebijakan dari parlemen juga
adalah UU pro pasar liberal. demokrasi liberal kepada pasar, kepentingan
mayoritas rakyat ditindas. Ia mencontohkan, demi kenyamanan investasi, pemerintahan
liberal melaksanakan praktek politik upah murah, perampampasan tanah milik kaum
tani, dan penghancuran layanan publik.
Dalam demokrasi liberal, yang kuat
bebas menindas yang lemah. Yang kaya makin kaya, sedangkan mayoritas rakyat
terjerumus dalam kemiskinan. Maklum, kue ekonomi hanya dinikmati segelintir
kelompok orang, Lebih jauh lagi, karena yang kuat akan berkuasa, ia bisa
menggunakan hukum untuk menindas yang lemah dan termiskinkan. Dalam berbagai
ajang pemilu, baik Pemilu nasional maupun Pilkada, selalu saja kelompok
pengusaha dan mereka yang punya uang yang bisa maju sebagai kandidat.
Akibatnya, kehidupan politik Indonesia makin didominasi oleh kalangan elit
politik tradisional dan pengusaha. sistem politik seperti di atas sangat tidak
sehat karena berbiaya tinggi, sarat dengan politik uang, dan cenderung
pro-pasar/pemodal. “Dulu, ketika orang terjun ke politik, modal utamanya adalah
gagasan dan program-program perjuangan. Sekarang orang terjun ke politik,
syarat utamanya harus punya modal yaitu uang, popularitas, dan punya koneksi
dengan kekuasaan. Lalu apa lagi yang di harapkan pemilu dengan GOLPUT atau
memilih yang terbaik di antara yang terburu karena tak punya program yang
kerakyatan bukan hanya slogan dan janjinya saja, adapun perubahan bisa di
laksanakan dengan perjuangan dimana ratu adil (rakyat turun angkat bedil)
menghendaki ketika rakyat tersadarkan sudah muak dan terorganisir. Dengan
kesadaran bahwa selama ini UUD’45 dan pancasila telah di selewengkan demi
kekuasan selelintir orang demi kepentingan kelompoknya. Disaat itulah rakyat
yang menjadi hakim bukanya sebuah oligarki kekuasaan yang pro terhadap neo-lib.
Uu ruangmenataplangit