Selasa, 21 Oktober 2014

ruang yang menatap langit II




Rumah kaca yang kembali menerangi baca-baca di taman

Mentari tenggelam berganti malam telah datang, bersiap untuk membuka baca-baca di taman seperti biasanya di taman menteng sabtu ini. Naik angkutan umum menuju taman menteng dengan sedikit kepadatan yang akhirnya terlewati juga. Taman Menteng malam itu terlalu ramai di depan rumah kaca, karan ada pemotretan anak sekolah untuk buku tahunan. Dan kami seperti biasa menggelar bahan merah dan hitam sebagai alas untuk buku-buku dan zine di depan rumah kaca yang sedang di bersihkan karena sudah terlalu kotor dan berdebu.


Duduk di bunderan air muncrat di samping rumah kaca yang tak di nyalakan sehingga tak terdengar gemericik air seperti air hujan yang turun pada bulan Oktober seperti tahun yang lalu. Rumah kaca yang kembali menerangi baca-baca di taman sehingga ritual tiap minggu ini menjadi berjalan lancar.

Ruang terbuka hijau/ruang publik sangat di butuhkan apa lagi di kota yang terlalu padat dan di sesaki perumahan padat dan gedung bertingkat pencakar langit. Kota-kota besar sering kali dijadikan simbol dari sebuah kemajuan atau keberhasilan. Gedung-gedung tinggi yang menjulang mencakar-cakar langit serta pusat-pusat perbelanjaan nan megah menjamur seperti di musim penghujan tumbuh subur dan berlomba-lomba untuk menjadi landmark atau icon dari setiap kota. Bahkan disalah satu sisi ibu kota Jakarta saja bisa berdiri dua atau tiga bahkan empat pusat perbelanjaan sekaligus dengan jarak yang sangat berdekat-dekatan atau pun kkebanyakan bersebelahan atau berhadapan. Belum lagi kendaraan bermotor yang tumpah ruah membanjiri setiap sudut jalan ibu kota, pembangunan jalanan dan kendaraan yang terus belomba-lomba untuk memenuhi sisi jalanan yang semakin sempit.


Taman merupakan ruang publik yang hijau dipandang mata membuat oase di tengah belantara hutan beton yang semakin sesak mengusur ruang terbuka hijau. Menatap langit saja tak bisa tak ada lagi ruang untuk menatap indahnya langit. Stephen Carr dalam bukunya Public Space, ruang publik harus bersifat responsif, demokratis, dan  bermakna. Ruang publik yang responsif artinya harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan  kepentingan luas. Secara demokratis yang dimaksud adalah ruang publik itu seharusnya dapat dimanfaatkan masyarakat umum tanpa harus terkotak-kotakkan akibat perbedaan sosial, ekonomi, dan budaya.  Bahkan, unsur demokratis dilekatkan sebagai salah satu watak ruang publik karena ia harus dapat  dijangkau (aksesibel) bagi warga dengan berbagai kondisi fisiknya, termasuk para penderita cacat tubuh  maupun lansia sambil duduk santai menikmati waktu istirahat mereka sambil beraktifitas ringan atau olahraga. Dan akhirnya jawaban solusinya bukan selalu berkahir berlibur di luar kota. Padahal ruang-ruang publik seperti ini adalah kebutuhan untuk menjaga keseimbangan kota. Ruang Terbuka Hijau menjadi sangat dibutuhkan. Seiring dengan perubahan iklim yang terus memburuk, masalah penghijauan dan kelestarian menjadi perhatian serius tak hanya bagi bangsa indonesia tapi juga masyarakat dunia. Menurut aturan internasional mengenai ruang terbuka hijau suatu kota harus mencapai angka 30 persen dari luas kota. Kesepakatan masyarkat internasional ini juga di amini oleh pemerintah Indonesia dengan menetapkan agar daerah perkotaan memiliki minimal 20% dari luas kawasan perkotaannya untuk ruang publik ini.



Menurut Roger Trancik, seorang pakar dibidang Urban Design, ruang terbuka hijau adalah ruang yang didominasi oleh lingkungan alami di luar maupun didalam kota, dalam bentuk taman, halaman, areal rekreasi kota dan jalur hijau. Sementara menurut Rooden Van FC dalam Grove dan Gresswell,1983, ruang terbuka hijau adalah Fasilitas yang memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan kualitas lingkungan permukiman, dan merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam kegiatan rekreasi. Ruang terbuka seperti taman ini juga mempunyai fungsi yang tak kalah penting dari masalah lingkungan hidup tapi juga berfungsi sosial dimana masyarakat bisa berkumpul dan bersantai bersama sanak keluarga dengan teman-teman atau pun sebuah komunitas. Dengan hilangnya lahan-lahan seperti ini dari peta kota maka berdampak secara tak langsung bagi proses-proses tersebut bahkan bukan tidak mungkin menciptakan sebuah generasi yang individualistis kelak di kemudian hari karena tidak ada lagi ruang yang berfungsi untuk interaksi sosial bagi masyarakat.


Tak hanya itu, taman adalah ruang terbuka hijau juga berfungsi sebagai pengamanan keberadaan kawasan lindung perkotaan, pengendali pencemaran dan kerusakan tanah, air dan udara, keanekaragaman hayati dan pengendali tata air serta tak ketinggalan sebagai sarana estetika kota yang sedap di pandang secara visual. Keberadaan ruang ini tak hanya menjadikan kota menjadi sekedar tempat yang sehat dan layak untuk dihuni tapi juga nyaman dan asri. Setidaknya sebuah ruang untuk menatap langit yang membuka cakrawala pengetahuan menjadikan kita berpikir seluas langit dan terbuka terhadap sebuah kebhinekaan.


Uu ruangmenataplangit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar