BIR (BIncang
Ringan) HIDUP KATA KERJA BUKAN KATA MITOS
( penulis: Jayadi K. Kastari artikel
budaya terbitan PENDAPA Tamansiswa , Edisi 51 Tahun XIX 2008 )
Kata ‘MITOS’
dalam percakapan yang sering kita dengar sehari-hari kata mitos lekat pada
sebuah hal yang melekat pada tradisi lisan dari pada sebuah tradisi tulisan.
Mitos pemahaman adalah dimana kita mengagung-agungkan sebuah mimpi. Yang
membuat orang terlena karena sebuah cerita mimpi yang terlalu kosong. Mimpi
yang agung-agungkan dan selalu saja di kobar-kobarkan, di dengung-dengungkan
sehingga orang-orang jadi setengah percaya dan terlena dibuatnya. Kenapa
menjadi setengah percaya? karena menjadi sesuatu yang ironis. Bertolak belakang
dengan keadaan sesunguhnya (realitas).
Yang paling sering di dengung-dengungkan adalah mitos Indonesia adalah
zamrud khatulistiwa. Ijo royo-royo, gemah
ripah lohjonawi tata-titi-tentrem kerta raharja. Seperti yang prologkan
dalam pergelaran wayang kulit. Itulah mitos Indonesia dalam imajinasi Pak
Dalang.

Mimpi yang
di kemas dengan mitos itu adalah sebenarnya fatamorgana saja. Impian kosong
yang seperti biasa menyesatkan dari kenyataan sebenarnya bukan tata titi & tentrem, juga harus ngati-ati, setiti lan urip kudu gumi (harus berhati-hati, hidup
harus sederhana dan berhemat). Apa pun harus berhemat dan hidup sederhana
sesuai dengan kebutuhanya bukanya menjadi konsumtif karana prestise semata.
Sejak kenaikan BBM biaya hidup menjadi sangat mahal. Kehidupan di Indonesia
menjadi mahal sekali seperti beras mamenjadi sangat mahal, pendidikan mahal,
biaya hidup mahal. Ada mahasiswa yang berdemo sampai berbusa-busa bahkan
berdarah-darah menuntuk pendidikan murah atau pun pendidikan gratis, harga
beras di turunkan bahkan menjadi angin lalu saja. Pengamat pendidikan justru
malah menohok aktifis mahasiswa, mana ada pendidikan berkualitas murah? Kalau
mau pendidikan yang berkualitas harus siap dengan konsekwensinya. Pendidikan
harus mahal. Kalau sudah membayar uang kuliahnya murah meminta fasilitas yang baik
dan berkualitas prima itu berarti tak tahu diri. Pendidikan murah kualitasnya
menjadi murahan. Mitos jawa selau mengajarkan bahwa: “jer basuki mawa bea” jika ingin hidup berhasil harus berani
berkorban apa saja, tenaga, pikiran, termasuk harta benda. Tak ada keinginan
lebih baik hanya ongkang-ongkang kaki. Tidak mau berproses. Tidak ada
keberhasilan yang datang dengan sendiri atau pun jatuh dari langit.
Keberhasilan harus di tebus dengan kerja keras, keringat, kalau perlu airmata.
 |
bir :bincang ringan komunitas baca-baca di taman |
meminjam
sebuah idiom sebuah acara yang sudah tak tanyang lagi sekarang. Idiomnya
seperti ini mungkin masih ingat “Wapres” Ucup Keliek, di Indonesia itu yang
berlaku sebenarnya “bukan kerja keras , tapi keras dulu baru kerja”. Bahasa
guyonan memang, setelah keras baru bisa bekerja. Masyarakat Indonesia di buai
oleh mitos . mitos kalau tidak dimaknai dengan kerja keras, justru menjadi
terelan dan pemalas. Taruhlah beras, bukanya petani yang diberi kemudahan
pemerintah agar bisa panen raya dengan baiak, tetapi pemerintah mencari jalan
pintas, kurang beras sealau impor. Fulus impor beras untuk para pejabat. Itu
hanya menyelesaikan persoalan sesaat, tetapi sangat menyesatkan dan
menyengsarakan petani. Etos keja petani sering tidak di hargai pemerintah
sendiri. Saat panen raya pemerintah malah mengimpor beras berton-ton dari manca
negara. Mitos kalau tidak dimaknai secara konstruktif justru membuat terlana
dan akhirnya menuju jurang kehancuran. Bukanya kemakmuran yang di dapat justru
kehancuran dan kemeralatan.
Bagaimana
tidak hancur, mitos Negara yang beradab, tetapi etika dan moralitas sudah
dilanggar. Setidaknya banyak kasus, pejabat memperkaya diri meski rakyatnya di
bantai busung lapar. Pejabat hidup glamor, pamer kemewahan di tengah rakayat
kecil yang beli beras saja tidak mampu. Pejabat bukanya menjadi teladan, berapa
banyak pejabat yang menjadi koruptor. Pejabat seharusnya menjadi pelayan.
Melayani rakyat, justru minta dilayani rakyat. Kalau dulu masa perjuangan, para
pemimpin bangsa ini memberikan apa yang ia punya untuk rakyat, bangsa dan
Negara. Pejabat sekarang justru mengambil milik Negara dan rakyat apa saja demi
kepentingan sendiri.
Mitos memang
menyimpan mimpi masa lalu demi keinginan masa mendatang. Mitos itu sendiri
sering menjai sesuatu yang paradoksal. Bertitik tolak belakang dengan kenyataan
yang terjadi, bisa-bisa memang menyesatkan. Tak usah jauh-jauh, dunia kampus
juga sering membeikan teori muluk-muluk, mahasiswa menjadi terlena. Kampus
dinanggap menjadi gerbang hidup mapan. Begitu didapat kenyataan yang terjadi,
ketika justru label “sarjana” yang didapat tantangan justru semakin berat.
Diam-diam, akhirnya menjadi sarjanapenganguran. Sarjana dengan predikat “ panji klantung” alis “klontang –klantung”
wira-wiri mencari pekerjaan, imilh contoh , ketika masuk kuliah itu hanya jadi
“sambilan” alis sambil lalau lalang tidak jelas orientasinya. Ketika lulus
benar-benar lalu-lalang. Saya pribadi salut dengan mahasiswa kuliah sambil
bekerja. Dengan bekerja sesunguhnya ia kuliah di universitas kehidupan.
Menyinggung
soal penganguran pada saat itu data yang di peroleh tahun 2007. Menkokestra pada
saat itu Abdul Rizal Bakrie menginformasikan tahun 2007 naik penganguran 2,5
juta. Bukanya tingkat kemakmuran tapi penganguran yang meningkat. Angka ini
berasal dari angkatan kerja baru lulusan pendidikan sebanyak 2,3 juta dan 200
ribu kehilangan pekejaan akibat bencana alam: tanah longsor, gunung meletus,
gempa bumi, banjir dan sebagainya. Padahal tahun 2007 ada 10,9 juta pengangguran.
Tentu saja mencemaskan keresahan kerawanan sosial. Pada tahun 2013 menurut BPS tingkat
penganguran kini Tahun ini
tercatat ada 360 ribu orang sarjana lulusan universitas yang masih menganggur
dari total pengangguran sebanyak 7,39 juta jiwa.
Pertanyaan,
apakah anda akan menyusul menjadi penganguran intelektual? Mitos ketika menjadi
sarjana mencari pekerjaan mudah, jangan percaya. Justu realitas menunjukan
menjadi sarjana mencari pekerjaan sangat sulit. Kecuali ia mempunyai bekal skil
dan kemandirian. Hanya orang-orang yang benyali yang bisa lolos dari lubang
jarum penganguran intelekual. Selamat datang didunia nyata, bukan mitos. Hidup
kata kerja, bukan kata mitos.
Dijahit oleh:
Uu untuk ruangmenataplangit.blogspot.com